HUKUM PERDATA
A.
PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Hukum
Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan
kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat, Hukum perdata
Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di
Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum
perdata baratBelanda yang
pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan
biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut
berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya
mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Salah satu
bidang hukum yang
mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek
hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum
perdata disebut pula hukum privat
atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum
misalnya politik dan pemilu (hukum
tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi
atau tata usaha negara),
kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan
antarapenduduk atau warga
negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan
seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda,
kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
B.
SEJARAH KUH PERDATA DUNIA DAN INDONESIA (BW)
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal dengan istilah
Bugerlijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun
di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum
Perdata Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun
berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu
dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
KUH
Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang diketuai oleh
Mr. J.M. Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan
bagian yang lain serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli
1830, namun diberlakukan di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. pada
tahun itu diberlakukan juga KUH Dagang (WVK).
Pada
tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi
ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer
masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil.
Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. scholten van
Oud Haarlem lagi, tatapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J. Schneither
dan Mr. J. Van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil
mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang
sempit. Artinya KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata
Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH
Perdata Indonesia.
Kodifikasi
KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui
Statsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. kiranya
perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW)
Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van
de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia
juga turut berjasa dalam kodifikasi tersebut.
C.
PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HUKUM PERDATA
·
Pada
mulanya zaman Romawi secara garis besar terdapat 2 kelompok pembagian
hukum,yaitu:
-
Hukum Publik Adalah hukum yang menitikberatkan kepada perlindungan
hukum,yang diaturnya adalah hubungan antara negara dan masyarakat.
-
Hukum Privat Adalah kumpulan hukum yang menitikberatkan pada
kepentingan individu. Hukum Privat ini biasa disebut Hukum Perdata
atau Hukum Sipil.
·
Pada
perkembangannya Hukum Perdata/Privat ada 2 pengertian:
-
Hukum Perdata dalam arti luas
yaitu:
Hukum Perdata yang termuat dalam KUHS/Burgerlijk Wetboek/BW ditambah
dengan hukum yang termuat dalam KUHD/WvK(Wetboek van Koophandel)
-
Hukum Perdata dalam arti sempit,yaitu Hukum Perdata yang termuat
dalam KUHS itu sendiri.
·
Hukum
Perdata di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok:
-
Hukum Perdata Adat:
Berlaku
untuk sekelompok adat
-
Hukum Perdata Barat:
Berlaku
untuk sekelompok orang Eropa dan Timur Asing
-
Hukum Perdata Nasional:
Berlaku
untuk setiap orang,masyarakat yang ada di Indonesia
Berdasarkan
realita yang ada,masih secara formal ketentuan Hukum Perdata Adat
masih berlaku(misalnya Hukum Waris) disamping Hukum Perdata Barat.
Unifikasi
Hukum Perdata:Penseragaman hukum atau penyatuan suatu hukum untuk
diberlakukan bagi seluruh bangsa di seluruh wilayah negara Indonesia.
D.
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA MENURUT ILMU PENGETAHUAN
·
Menurut
ilmu pengetahuan, hukum perdata sekarang ini lazim dibagi dalam empat
bagian, yaitu :
-
Hukum tentang orang atau hukum perorangan (persoonenrecht) yang
antara lain mengatur tentang :
Orang
sebagai subjek hukum.
Orang
dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan bertindak sendiri untuk
melaksanakan hak-haknya itu.
-
Hukum kekeluargaan atau hukum keluarga (familierecht) yang memuat
antara lain :
Perkawinan,
perceraian beserta hubungan hukum yang timbul didalamnya seperti
hukum harta kekayaan suami dan istri.
Hubungan
hukum antara orangtua dan anak-anaknya atau kekuasaan orang tua
(ouderlijke macht).
Perwalian
(voogdij).
Pengampunan
(curatele).
-
Hukum kekayaan atau hukum harta kekayaan (vermogensrecht) yang
mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan
uang. Hukum harta kekayaan ini meliputi :
Hak
mutlak ialah hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang.
Hak
perorangan adalah hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau
suatu pihak tertentu saja.
-
Hukum waris (erfrecht) mengatur tentang benda atau kakayaan seseorang
jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat hukum dari hubungan
keluarga terhadap harta warisan yang ditinggalkan seseorang.
E.
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA DALAM KUH PERDATA (BW)
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW) Indonesia terdiri dari empat buku
sebagai berikut :
1.
Buku I, yang berjudul ”perihal orang” (van persoonen), memuat
hukum perorangan dan hukum kekeluargaan.
2.
Buku II, yang berjudul ”perihal benda” (van zaken), memuat hukum
benda dan hukum waris.
3.
Buku III, yang berjudul ”perihal perikatan” (van verbintennisen),
memuat hukum harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
4.
Buku IV, yang berjudul ”perihal pembuktian dan kadaluarsa” (van
bewijs en verjaring), memuat perihal alat-alat pembuktian dan
akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
F.
BERLAKUNYA KUH PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) DI INDONESIA
Tahun 1839, satu
tahun sejak berlakunya Burgerlijk Wetboek (BW) di
Belanda, Raja Belanda membentuk panitia yang diketuai oleh Mr. Paul
Scholten seorang sarjana hukum Belanda, untuk memikirkan bagaimana
caranya agar kodifikasi di negara Belanda dapat pula dipakai untuk
daerah jajahan, yaitu Hindia Belanda (-baca: Indonesia-).
Setelah panitia
Scholten ini bubar, Presiden Hooggerechtshof (HGH)
atau MA di Hindia Belanda, waktu itu Mr. H.L. Wichers, ditugaskan
membantu Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memberlakukan Kitab
Hukum yang baru itu, sambil memikirkan pasal-pasal yang mungkin masih
perlu diadakan. Semua peraturan yang telah dirumuskan tersebut
kemudian dengan Pengumuman Gubjen Hindia Belanda tanggal 3 Desember
1847, dinyatakan berlaku mulai pada 1 Mei 1848 di
Hindia Belanda (baca: Indonesia). Pemberlakuan tersebut berdasarkan
azas konkordansi (concordantie beginsel) yang diatur dalam
Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) S. 1925 - 557,
yang mengemukakan bahwa bagi setiap orang Eropah yang ada di Hindia
Belanda diberlakukan hukum perdata yang berlaku di Belanda.
Berdasarkan S.
1847 - 23, BW (KUH Perdata) di Indonesia hanya berlaku terhadap :
a. Orang-orang
Eropa, yang meliputi : orang Belanda; orang yang berasal dari Eropa
lainnya; orang Jepang, AS, Kanada, Afrika Selatan, dan Australia
beserta anak-anak mereka.
b. Orang-orang
yang dipersamakan dengan orang Eropa, yakni mereka yang pada saat BW
berlaku memeluk agama Kristen.
c. Orang-orang
Bumiputra turunan Eropa.
Kemudian berdasarkan S.
1917 - 12 (mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1917) kepada
golongan Bumiputra dan golongan Timur Asing, dengan
sukarela dapat menundukkan dirinya kepada BW (dan KUH
Dagang) baik sebagian maupun untuk seluruhnya. Berdasarkan azas
konkordansi, maka kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh
bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia.
Dengan demikian
anasir-anasir/unsur-unsur KUH Perdata Indonesia berasal dari :
-
hukum Romawi,
-
hukum Prancis kuno, dan
-
hukum Belanda kuno.
BW di negara Belanda
sendiri sejak tahun 1838, telah beberapa kali mengalami perubahan dan
saat ini BW yang berlaku di negara Belanda sendiri adalah BW yang
baru (telah diperbaharui).
Pada zaman Jepang
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 atau 2602 Pasal 3 disebutkan
bahwa : "Semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum, dan
Undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui buat sementara
waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah bala
tentara Jepang".
Sesudah Jepang
menyerah kepada sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945, maka berlakulah tatanan hukum negara RI,
walaupun tatanan tersebut sebagian besar masih merupakan peninggalan
Hindia Belanda. Berlakunya tatanan seperti itu adalah
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang
menentukan : "Semua peraturan yang ada hingga saat Indonesia
merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-undang ini". Kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan
Pemerintah nomor 2 tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Kemudian
diikuti Pasal 192 Konstitusi RIS, dan Pasal 142 UUDS 1950.
BW yang berlaku di
Indonesia sejak 1848 itu merupakan produk pemerintah kolonial
Belanda, karena itu sudah barang tentu dibuat berdasarkan azas-azas
dan kepentingan Belanda sendiri. Apabila ada azas-azas dalam BW itu
yang berbeda dengan asas dan kepentingan bangsa Indonesia
sendiri, maka hal itu sudah sepantasnya.
Azas-azas dalam KUH
Perdata yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Indonesia tersebut
a.l.:
1. Adanya
anggapan yang individualistis terhadap hak eigendoom (Pasal570);
2. Adanya
ketidakmampuan bertindak bagi wanita yang bersuami dalam lapangan
hukum kekayaan (Pasal 108 & 110 jo 1330);
3. Adanya
kebebasan untuk mengadakan kontrak (Pasal 1338);
4. Adanya asas
monogami mutlak dalam perkawinan (Pasal 27);
5. Adanya sifat
netral/sekuler/keduniawian pada hukum perdata (Pasal26).
Manfaat
mempelajari sejarah KUH Perdata (BW) adalah
dengan mengetahui bila dan bagaimana cara diberlakukannya BW itu di
Indonesia, dan bagaimana pula kedudukannya dalam tatanan hukum kita,
kita akan dapat mengetahui latar belakang politik dan kepentingan
Belanda menerapkan BW itu di Indonesia. Dengan demikian kita dapat
menjawab pertanyaan apakah BW itu masih sesuai atau tidak dengan
iklim negara kita yang merdeka.
G.
KEDUDUKAN
HUKUM KUH PERDATA DEWASA INI
BW (KUH Perdata)
oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan belaka
dari BW di Belanda dan diperlakukan pertama-tama bagi orang-orang
Belanda yang ada di Indonesia.
Kemudian setelah
kita merdeka, dan juga sebelumnya, BW itu dirasakan kurang sesuai
dengan nilai-nilai atau unsur-unsur yang melekat pada kepriba-dian
Indonesia. Kemudian timbul gagasan baru menganggap BW itu hanya
sebagai pedoman. Gagasan ini diajukan oleh Menteri Kehakiman,
Sahardjo, SH pada sidang Badan Perancang dari Lembaga Pembina Hukum
Nasional bulan Mei 1962. Dengan gagasan ini, penguasa terutama para
hakim lebih leluasa untuk mengenyampingkan beberapa pasal dari BW
yang tidak sesuai.
Lebih lanjut Wirjono
Prodjodikoro mengatakan agar BW sebagai pedoman juga agar dihilangkan
sama sekali dari bumi Indonesia secara tegas, yaitu dengan suatu
pencabutan, tidak dengan undang-undang melainkan secara suatu
pernyataan resmi dari pemerintah atau dari Mahkamah Agung. Ternyata
gagasan tentang kedudukan KUH Perdata ini disetujui oleh MA dan juga
oleh para sarjana, sehingga dengan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada
seluruh Kepala Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di
seluruh Indonesia agar beberapa pasal tertentu dari KUH Perdata
dianggap tidak berlaku lagi.
Adapun pasal-pasal
KUH Perdata yang dianggap tidak berlaku berdasarkan SEMA
Nomor 3 Tahun 1963 tersebut adalah :
1. Pasal 108
dan 110 tentang kewenangan isteri melakukan perbuatan hukum
dan menghadap di muka Pengadilan;
2. Pasal 284
ayat 3; mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh
seorang perempuan Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak itu
tidak lagi berakibat terputusnya perhubungan hukum antara ibu dan
anak, sehingga juga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara
semua WNI;
3. Pasal
1682; yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan
akta notaris. Dengan demikian penghibahan diantara semua WNI
juga dapat dilakukan dengan akta hibah dibawah tangan;
4. Pasal
1579; yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, si
pemilik dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan, akan memakai
sendiri barangnya. Saat ini dapat terjadi apabila pada waktu
membentuk perjanjian sewa-menyewa telah disepakati;
5. Pasal
1238; yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya
dapat diminta di muka hakim, apabila gugatan didahului dengan suatu
penagihan tertulis, melainkan dapat dilakukan secara lisan.
6. Pasal
1460; menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah
dijanjikan dijual, sejak saat itu adalah tanggungan si pembeli,
meskipun penyerahannya belum dilakukan. Jadi risiko
dalam jual beli ditangan pembeli. Dengan tidak berlakunya pasal
ini, maka harus ditinjau dari tiap-tiap keadaan, apakah tidak
sepantasnya pertanggungan jawab atau resiko atas musnahnya
barang-barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan,
harus dibagi antara kedua belah pihak, yaitu si penjual dan si
pembeli;
7. Pasal
1603 x ayat 1 dan 2; yang mengadakan diskriminasi antara
orang Eropah disatu pihak dan orang bukan Eropah dilain pihak
mengenai perjanjian perburuhan.
Bertolak dari
pendapat dan uraian di atas, maka dewasa inikedudukan KUH Perdata
di Indonesia hanya merupakan rechtboek(buku
hukum), bukan sebagai wetboek (buku
Undang-undang). Oleh karenanya, berlakunya KUH Perdata hanya
sebagai pedoman saja. Sehingga biasa juga dikatakan KUH Perdata
itu hanya suatu ketentuan yang tidak tertulis tetapi tertulis.
Walaupun kenyataannya guna mengatasi kevacuuman (mengisi
kekosongan dalam hukum) adanya ketentuan KUH Perdata itu secara a
priori harus diberlakukan secara memaksa (dwingenrecht). Namun
apabila ditinjau secara yuridis formil, KUH Perdata masih tetap
sebagai hukum positip karena sampai pada saat ini belum ada
undang-undang dan peraturan resmi mencabutnya.
Saat ini ada UU
yang mempengaruhi berlakunya KUH Perdata, yaitu a.l. :
1. Undang-undang
nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA), yang menyatakan " Buku Ke-II KUH Perdata
dicabut, sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek
yang masih berlaku pada mulai berlakunya UU ini".
2. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, misalnya isteri dapat
bertindak secara hukum (Pasal 31 ayat 2); dewasa adalah mereka
yang telah mencapai usia 18 tahun (Pasal 47 jo 50).
3. Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan tidak
ada diskriminasi dalam ketenagakerjaan
4. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan; menyatakan tidak
berlaku peraturan hipotik terhadap hak atas tanah yang diatur dalam
buku II KUH Perdata.
Dengan berlakunya
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 membawa
konsekuensi berlakunya pasal-pasal KUH Perdata :
1. Ada
pasal-pasal yang masih berlaku penuh, karena tidak mengenai bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Misalnya : Pasal 505,
509 - 518, 612, 613, 826, 827, 830 - 1130, 1131 - 1149, 1150 - 1160
KUH Perdata.
2. Ada
pasal-pasal yang menjadi tidak berlaku lagi, yaitu pasal yang melulu
mengatur mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya. Misalnya :
a. Pasal
tentang benda tak bergerak yang hanya berhubungan dengan hak-hak atas
tanah;
b. Pasal-pasal
tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah;
c. Pasal-pasal
mengenai penyerahan benda-benda tak bergerak;
d. Pasal 625 -
672, 673, 674 - 710, 711 - 719, 720 - 736, 737 - 755 KUH Perdata.
3. Ada
pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa
ketentuan-ketentuan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya tidak berlaku lagi dan masih berlaku sepanjang mengenai
benda-benda lainnya.
Misalnya :
- Pasal-pasal tentang benda umumnya;
- Pasal 503 -
505, 529 - 568, 570, 756, 818 KUH Perdata.
H.
CONTOH KASUS PERDATA
Kasus
Trail
Smelter
Bermula
dari kasus pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuahperusahaan
pupuk milik warga negara Kanada yang dioperasikan didalam wilayah
Kanada, dekat sungai Columbia, lebih kurang 10 milmenjelang
perbatasan Kanada-AS. Mulai tahun 1920 produksi emisiperusahaan
tersebut terus meningkat. Emisi tersebut mengandungsulfur dioksida,
menyebarkan bau logam dan seng yang sangatmenyengat. Pada tahun 1930
jumlah emisi tersebut mencapai lebihdari 300 ton sulfur setiap hari.
Emisi tersebut, karena terbawaangin, bergerak ke arah wilayah AS
melalui lembah sungaiColumbia dan menimbulkan berbagai akibat
merugikan terhadaptanah, air dan udara, kesehatan serta berbagai
kepentinganpenduduk Washington lainnya.AS kemudian melakukan klaim
terhadap Kanada dan meminta Kanadabertanggungjawab terhadap kerugian
yang diderita AS. Setelahmelakukan negosiasi, kedua negara sepakat
untuk menyelesaikankasus itu melalui International
Joint Commision, suatu badanadminsitratif yang dibentuk
berdasarkan
Boundary
Waters Treaty 1907. Badan
itu tidak mempunyai yurisdiksi terhadap masalah-masalah pencemaran
udara dan sesungguhnya hanya mempunyaiyurisdiksi terhadap
sengketasengketa yang berkaitan denganmasalah perbatasan perairan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar