Pages

Selasa, 02 April 2013

BAB 2


SUBYEK DAN OBYEK HUKUM


SUBJEK DAN OBJEK HUKUM
Orang adalah pembawa hak dan kewajiban atau setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum disebut subjek hukum. Subjek hukum terdiri dari dua :
1.1     Manusia Biasa
Seorang manusia sebagai pembawa hak (subjek hukum) dimulai pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, kecuali dalam Pasal 2 Ayat 1 KUH Perdata menegaskan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya, dengan memenuhi persyaratan :
  1. Si anak telah dibenihkan pada saat kepentingan tersebut timbul,
  2. Si anak harus dilahirkan hidup, dan
  3. Ada kepentingan yang menghendaki anak tersebut memperoleh status sebagai hukum.
Ditambahkan juga pada Pasal 2 Ayat 2 KUH Perdata apabila ia dilahirkan mati maka ia dianggap tidak pernah ada. Jadi Negara RI sebagai Negara hukum mengakui setiap orang sebagai subjek hukum oleh undang-undang.
Dalam Pasal 27 UUD 1945 menetapkan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, dalam pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Seperti dalam hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan hukum adalah sebagai berikut :
  1. Cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang dewasa menurut hukum (telah berusia 21 tahun) dan berakal sehat.
  2. Tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah,
  1. Orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun);
  2. Orang yang terkena gangguan jiwa, pemabuk atau pemboros;
  3. Orang wanita yang dalam perkawinan atau yang berstatus sebagai istri (telah dicabut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963 Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menetapkan hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan-pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan tiap-tiap pihak berhak melakukan perbuatan hukum).
2.2   Badan Hukum (Rechts Person)
Badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia, seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya.
Misalnya, suatu perkumpulan diminta pengesahan sebagai badan hukum dengan cara :
  1. Didirikan dengan akta notaris;
  2. Didaftarkan di kantor panitera pengadilan negeri setempat;
  3. Dimintakan pengesahan anggaran dasar (AD) kepada Menteri Kehakiman dan HAM, sedangkan khusus untuk badan hukum dana pension, pengesahan anggaran dasarnya dilakukan oleh Menteri Keuangan;
  4. Diumumkan dalam Berita Negara RI.
Badan hukum dibedakan menjadi dua bentuk :
  1. Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Person)
Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum public atau yang menyangkut kepentingan public atau orang banyak atau Negara umumnya. Badan hukum ini dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif (pemerintah) atau badan pengurus ditugaskan untuk itu, seperti Negara RI, pemerintah daerah tingkat I dan II, Bank Indonesia, dan perusahaan-perusahaan Negara.
  1. Badan Hukum Privat (Privat Rechts Person)
Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil. Badan hukum ini merupakan badan swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu, yakni mencari keuntungan, social, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lainnya menurut hukum yang berlaku secara sah, misalnya perseroan terbatas, koperasi, yayasan, dan badan amal.
2.3   Objek Hukum
Objek hukum menurut Pasal 499 KUH Perdata, yakni benda. Benda adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi objek dari hak milik (eigendom).
Berdasarkan Pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dibagi menjadi dua, yaitu :
  1. Benda yang bersifat kebendaan (materiekegoederen)
Suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dan dirasakan dengan panca indera, terdiri dari :
  1. Benda bertubuh/berwujud, meliputi;
1)      Benda bergerak/tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan;
2)      Benda tidak bergerak;
  1. Benda tidak bertubuh/tidak berwujud, seperti surat berharga.
  2. Benda yang bersifat tidak kebendaan (immateriekegoederen)
Suatu benda yang hanya dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merek perusahaan, paten, ciptaan music atau lagu.
Dalam KUH Perdata benda dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
  1. Barang yang wujud (lichamelijk) dan barang yang tidak berwujud (lichamelijk);
  2. Barang yang bergerak dan barang yang tidak bergerak;
  3. Barang yang dapat dipakai habis (vebruikbaar) dan barang-barang yang dipakai tidak habis (onvebruikbaar);
  4. Barang-barang yang sudah ada (tegenvoordigezaken) dan barang-barang yang masih akan ada (toekomstigezaken);
  5. Barang-barang uang dalam perdagangan (zaken in de handle) dan barang-barang yang di luar perdagangan (zaken buite de handle);
  6. Barang-barang yang dapat dibagi dan barang-barang yang tidak dapat dibagi.
2.3.1    Benda Bergerak
Benda bergerak dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
  1. Benda bergerak karena sifatnya, menurut Pasal 509 KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, missal meja, kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak.
  2. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut Pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, missal hak memungut hasil atas benda bergerak, hak pakai atas benda bergerak, dan saham perseroan terbatas.
2.3.2    Benda Tidak Bergerak
Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi seperti berikut :
  1. Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang melekat di atasnya, missal pohon, tumbuh-tumbuhan, arca, dan patung.
  2. Benda tidak bergerak karena tujuannya, yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik.
  3. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak, missal hipotik.
Membedakan benda bergerak dan benda tidak bergerak sangat penting karena berhubungan dengan empat hal yaitu :
  1. Pemilikan (bezit)
Pemilikan (bezit) untuk benda bergerak berlaku asas yang tercantum dalam Pasal 1977 KUH Perdata, yaitu bezitter dari barang bergerak adalah eigennar (pemilik) dari barang tersebut, sedangkan untuk benda tidak bergerak tidak demikian halnya.
  1. Penyerahan (levering)
Penyerahang (levering) untuk benda bergerak dapat dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) atau dari tangan ke tangan, sedangkan benda tidak bergerak dilakukan balik nama.
  1. Daluarsa (verjaring)
Daluarsa (verjaring) untuk benda bergerak tidak mengenal daluarsa sebab bezit disini sama dengan eigendom (pemilikan) atas benda bergerak tersebut, sedangkan untuk benda tidak bergerak mengenal adanya daluarsa.
  1. Pembebanan (bezwaring)
Pembebanan (bezwaring) untuk benda bergerak dilakukan dengan pand (gadai, fidusia), sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah.
2.4       Hukum Benda (Zakenrecht)
Hukum benda merupakan bagian dari hukum kekayaan (vermogensrecht), yakni peraturan-peraturan yang mengatur hak dan kewajiban manusia yang bernilai uang. Hak kebendaan merupakan hak mutlak atau lawannya hak nisbi.
2.4.1        Hak Mutlak (Hak Absolut)
Hak mutlak (hak absolut) terdiri dari :
a)      Hak kepribadian, misalnya hak atas namanya, hidup, kemerdekaan, dan lain-lain.
b)      Hak yang terletak dalam hukum keluarga, yakni hak yang timbul karena adanya hubungan antara suami istri dan hubungan orang tua dan anak.
c)      Hak mutlak atas suatu benda inilah yang disebut hak kebendaan.
2.4.2        Hak Nisbi (Hak Relatif)
Hak nisbi (hak relatif) atau persoonlijk adalah semua hak yang timbul karena adanya hubungan utang-piutang, dan utang-piutang timbul dari perjanjian dan undang-undang.
1.Penggolongan hak kebendaan
Penggolongan hak kebendaan dalam KUH Perdata dibedakan menjadi 2 kelompok :
a)      Hak kebendaan yang sifatnya memberikan kenikmatan atas suatu benda miliknya sendiri, contohnya hak milik atas benda bergerak, dan hak yang memberikan kenikmatan atas benda milik orang lain, misalnya hak memungut hasil atas benda bergerak dan hak pakai atas benda bergerak.
b)      Hak kebendaan yang sifatnya memberikan jaminan atas pelunasan utang, contohnya gadai (pand) yang merupakan jaminan utang atas benda bergerak dan hipotik sebagai jaminan atas benda tidak bergerak selain tanah.
2.Cara memperoleh hak milik atas suatu benda
Berdasarkan Pasal 584 KUH Perdata cara memperoleh hak milik atas suatu benda, antara lain :
  1. Pelekatan,
  2. Daluwarsa,
  3. Pewarisan, dan
  4. Penyerahan (levering).
Untuk penyerahan (levering) berdasarkan suatu title pemindahan hak berasal dari seorang yang berhak memindahkan hak milik kepada orang lain sebagai berikut :
1)      Penyerahan (levering) atas benda bergerak diatur dalam Pasal 612 KUH Perdata, dilakukan dengan cara penyerahan dari tangan ke tangan.
2)      Penyerahan (levering) atas benda tak bergerak (tanah) dilakukan dengan pembuatan akta PPAT.
3)      Penyerahan (levering) atas benda tak berwujud diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata untuk
a)      Piutang atas tunjuk (aan toonder), dengan penyerahan nyata;
b)      Piutang atas nama (op naam), dengan cessie;
c)      Piutang tidak kepada pengganti (aan order), penyerahan surat disertai dengan endosemen.
2.5       Hak Kebendaan yang Bersifat sebagai Pelunasan Utang (Hak Jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang (hak jaminan) adalah hak jaminan yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan, jika debitor melakukan wansprestasi terhadap suatu perjanjian.
2.6       Macam-Macam Pelunasan Utang
2.6.1    Pelunasan Utang dengan Jaminan Umum
Pada Pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitor, baik yang ada maupun yang akan ada, baik bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jaminan terhadap pelunasan utang yang dibuatnya. Sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitor menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditor yang memberikan utang kepadanya.
Dalam hal ini, benda yang dapat dijadikan pelunasan jaminan apabila telah memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang);
  2. Benda tersebut dapat dipindahtangankan haknya kepada pihak lain.
2.6.2    Pelunasan Utang dengan Jaminan Khusus
Hak khusus bagi jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.
2.7       Gadai
Dalam Pasal 1150 KUH Perdata disebutkan bahwa gadai adalah hak yang diperoleh kreditor atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang.
2.7.1    Sifat-Sifat Gadai
a)      Gadai untuk benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
b)      Gadai bersifat accesoir, artinya merupakan tambahan dari perjanjian pokok.
c)      Adanya sifat kebendaan.
d)      Syarat inbezitztelling, artinya benda gadai harus keluar dari kekuasaan pemberi gadai, atau benda gadai diserahkan dari pemberi gadai kepada pemegang gadai.
e)      Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri.
f)        Hak prefernsi (hak untuk didahulukan), sesuai dengan Pasal 1130 dan Pasal 1150 KUH Perdata.
g)      Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi artinya sebagian hak gadai tidak akan menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian dari utang.
2.7.2    Objek Gadai
Objek Gadai adalah semua benda bergerak dan pada dasarnya bisa digadaikan untuk mendapatkan pembayaran uang, yang berwujud surat-surat piutang kepada pembawa, atas unjuk, dan atas nama, serta hak paten.
2.7.3    Hak Pemegang Gadai
Hak yang didapat si pemegang gadai selama gadai berlangsung.
  1. Pemegang gadai berhak menjual benda yang digadaikan atas kekuasaan sendiri. Hasil penjualan sebagian untuk melunasi utang debitor dan sisanya dikembalikan kepada debitor.
  2. Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti rugi yang berupa biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan benda gadai.
  3. Pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan benda gadai sampai ada peluasan utang dari debitur (jumlah utang dan bunga).
  4. Pemegang gadai mempunyai hak preferensi dari kreditur-kreditur yang lain.
  5. Hak untuk menjual benda gadai dengan perantara hakim.
  6. Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai.
2.7.4    Kewajiban-Kewajiban Pemegang Gadai
a. Pasal 1157 ayat 1 KUH Perdata pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan, jika itu semua terjadi atas kelalaiannya.
b. Pasal 1156 ayat 2 KUH Perdata berkewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai jika barang gadai dijual.
c. Pasal 1159 ayat 1 KUH Perdata bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai.
d. Kewajiban untuk mengembalikan benda gadai jika debitor melunasi utangnya.
e. Kewajiban untuk memelihara benda gadai.
2.7.5    Hapusnya Gadai
a.  Hapusnya perjanjian pokok (sudah dilunasi).
b. Karena musahnya benda gadai.
c. Karena pelaksanaan eksekusi.
d. Karena pemegang gadai telah melepaskan hak gadai secara sukarela.
e. Karena pemegang gadai telah kehilangan kekuasaan atas benda gadai.
f. Karena penyalahgunaan benda gadai.
2.8       Hipotik
Berdasarkan Pasal 1162 KUH Perdata adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perutangan.
2.8.1    Sifat-Sifat Hipotik
a. Bersifat accesoir, yakni seperti halnya gadai.
b. Mempunyai sifat zaaksgevolg (droit de suite), yaitu hak hipotik senantiasa mengikuti bendanya dalam tagihan tangan siapapun benda tersebut berada.
c. Lebih didahulukan pemenuhannya dari piutang yang lain.
d. Objeknya benda-benda tetap.
2.8.2.  Objek Hipotik
Dengan berlakunya UUHT, objek hipotik meliputi sebagai berikut :
a. Kapal laut, Pasal 314 Ayat 4 KUH Dagang dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
b. Kapal terbang dan helicopter berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan.
2.9    Perbedaan Gadai dan Hipotik
a. Gadai harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang digadaikan, sedangkan hipotik tidak.
b. Gadai hapus jika barang yang digadaikan berpindah ke tangan orang lain, sedangkan hipotik tidak, tetapi tetap mengikuti bendanya walaupun bendanya dipindahtangankan ke orang lain.
c. Satu barang tidak pernah dibebani lebih dari satu gadai walaupun tidak dilarang, tetapi beberapa hipotik yang bersama-sama dibebankan di atas satu benda merupakan keadaan biasa.
d. Adanya gadai dapat dibuktikan dengan segala macam pembuktian yang dipakai untuk membuktikan pejanjian pokok, sedangkan perjanjian hipotik dibuktikan dengan akta otentik.
2.10     Hak Tanggungan
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah yang dibebankan berikut benda-benda lain yang bersangkutan.
UUHT memberikan kedudukan kreditor tertentu yang kuat dengan ciri-ciri berikut :
a.       Kreditor yang diutamakan terhadap kreditor lainnya.
b.      Hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun berada atau selama perjanjian pokok belum dilunasi.
c.       Memenuhi syarat spesialitas dan publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
d.      Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Benda yang akan dijadikan jaminan hutang, harus memenuhi syarat-syarat berikut
a.       Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
b.      Benda tersebut dapat dipindahtangankan haknya kepada pihak lain.
c.       Tanah yang akan dijadikan jaminan ditunjuk oleh undang-undang.
d.      Tanah tersebut sudah terdaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
2.10.1  Objek Hak Tanggungan
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang menjadi objek hak tanggungan, yakni :
a)      Hak milik (HM)
b)      hak guna bangunan (HGB)
c)      Hak guna usaha (HGU)
d)      Rumah susun berikut tanah hak bersama serta hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS)
e)      Hak pakai atas tanah Negara
Setiap pemberian hak tanggungan harus dilakukan pembebanan yang meliputi tahap pemberian dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan tahap pendaftaran hak tanggungan di kantor badan pertahanan. Kemudian, proses pemberian hak tanggungan dilakukan dihadapan PPAT untuk dibuatkan akta pemberian hak tanggungan yang disaksikan oleh debitor, kreditor, dan 2 orang saksi menurut hukum (dewasa dan berakal sehat), serta PPAT.
Menurut Pasal 13 ayat 1 UUHT pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada kantor Badan Pertahanan Nasional (BPN) setempat.
Fungsi dari pendaftaran :
  • Sebagai syarat konstitutif lahirnya hak tanggungan
  • Sebagai pembuktian telah terjadi hak tanggungan
  • Sebagai alat bukti bagi para pihak debitor, kreditor, maupun pihak ketiga.
Dalam Pasal 16 UUHT disebutkan jika piutang yang dijamin dengan hak tanggungan beralih hukum karena cessie, subrogasi, atau sebab lain maka hak tanggungan tersebut ikut beralih kepada kreditor baru.
Berdasarkan Pasal 21 UUHT apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit maka pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya.
Dan berdasarkan Pasal 55 UU Nomor 34 Tahun 2004 setiap kreditor yang memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lain dapat mengeksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Berdasarkan Pasal 20 UUHT hak yang diberikan oleh kreditor :
a)       Pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak tanggungan sebagaimana dimaksudkan Pasal 6.
b)       Berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 Ayat 2.
c)       Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan untuk memperoleh harga yang tertinggi yang akan menguntungkan semua pihak.
2.11     Fidusia
Fidusia merupakan suatu perjanjian accesor antara debitor dan kreditor yang isinya penyerahan hak milik secara kepercayaan atas benda bergerak milik debitor kepada kreditur. Hubungan hukum antara pemberi fidusia (debitor) dengan penerima fidusia (kreditor) merupakan hukum yang berdasarkan kepercayaan.
Lembaga jaminan fidusia telah diakui berdasarkan yurisprudensi Keputusan Hooggerechtsh tanggal 18 Agustus 1932 serta keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 September 1971 Reg No. 372 K/Sip/1970.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No 42 tahun 1999, fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan sesuatu atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa hak kepemilikannya dialihkan dan penguasaan tetap ada pada pemilik benda.
Menurut pasal 1 angka 2 UUJF, jaminan fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.
Berdasarkan pasal 4 UUJF, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan (accessoir) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak di dalam memenuhi suatu prestasi untuk memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.
2.11.1  Objek Jaminan Fidusia
Menurut pasal 1 angka 4 UUJF yakni benda.
Dalam pasal 3 benda tidak bergerak harus memenuhi persyaratan :
a)    Benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan
b)   Benda tersebut tidak dibebani dengan hak hipotik, untuk benda bergerak tidak dibebani dengan hak gadai.
2.11.2  Perjanjian Fidusia
Perjanjian yang harus dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia.
2.11.3  Pendaftaran Fidusia
Berdasarkan pasal 14 ayat 3 UUJF pendaftaran fidusia adalah jaminan fidusia yang lahir pada tanggal dicatat dalam buku daftar fidusia dan merupakan bukti kreditor sebagai pemegang jaminan fidusia yang diberikan sertifikat jaminan fidusia. Untuk benda bergerak berlaku ketentuan pasal 1977 KUH Perdata yang mengatur, “barang siapa menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemiliknya”.
Tujuan pendaftaran fidusia :
a)       Untuk melahirkan jaminan fidusia bagi penerima fidusia dan menjamin pihak yang mempunyai kepentingan atas benda yang dijaminkan.
b)       Untuk memberikan perlindungan hukum kepada penerima dan pemberi fidusia serta pihak ketiga yang berkepentingan.
c)       Memberikan hak yang didahulukan (kreditur preferent).
d)       Memenuhi asas spesialitas dan publisitas.
e)       Memberi rasa aman kepada kreditur penerima jaminan fidusia dan pihak ketiga yang berkepentingan.
2.11.4  Eksekusi Jaminan Fidusia
Berdasarkan pasal 15 ayat 2 UUJF, jika debitor wansprestasi kreditor mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan atas kekuasaan sendiri.
Berdasarkan pasal 39 UUJF, jika debitor cidera janji eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara berikut.
a)      Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat 2 oleh kreditor.
b)      Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan debitor sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
c)      Penjualan di bawah tangan dilakukan berdasarkan kesepakatan debitor dan kreditor.
2.11.5  Larangan bagi Pemegang Fidusia
Berdasarkan pasal 23 ayat 2 UUJF, yakni pemegang hak fidusia dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain.
2.11.6  Hapusnya Jaminan Fidusia
Berdasarkan pasal 25 UUJF, jaminan fidusia dihapus karena :
  • Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia,
  • Pelepasan ha katas jaminan fidusia oleh debitor, dan
  • Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
2.11.7  Jaminan Perseorangan (Borgtocht)
Berdasarkan pasal 1820 KUH Perdata, yakni suatu perjanjian dimana pihak ketiga menanggung pelunasan terhadap utang debitor apabila debitor tidak dapat melunasi utangnya. Namun, berdasarkan pasal 1821 KUH Perdata menyatakan bahwa tiada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah.
Hak-hak istimewa bagi pemegang borgtocht :
a)      Hak uit winning, yakni hak dari borg untuk meminta supaya harta kekayaan debitor terlebih dahulu disita (pasal 1831 KUH Perdata).
b)      Hak splitising, yakni hak dari borg dalam terdapat lebih dari seorang borg untuk meminta agar terlebih dahulu diadakan pemecahan utang (pasal 1836 KUH Perdata).

Sumber : http://lintangasmara.wordpress.com/2011/05/15/bab-2-subjek-dan-objek-hukum/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar