BAB 2
SUBYEK DAN OBYEK HUKUM
SUBJEK
DAN OBJEK HUKUM
Orang
adalah pembawa hak dan kewajiban atau setiap makhluk yang berwenang
untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak dan kewajiban dalam
lalu lintas hukum disebut subjek hukum. Subjek hukum terdiri dari
dua :
1.1
Manusia Biasa
Seorang manusia
sebagai pembawa hak (subjek hukum) dimulai pada saat ia dilahirkan
dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, kecuali dalam Pasal 2
Ayat 1 KUH Perdata menegaskan bahwa anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan dianggap telah dilahirkan bila kepentingan si anak
menghendakinya, dengan memenuhi persyaratan :- Si anak
telah dibenihkan pada saat kepentingan tersebut timbul,
- Si anak
harus dilahirkan hidup, dan
- Ada
kepentingan yang menghendaki anak tersebut memperoleh status
sebagai hukum.
Ditambahkan
juga pada Pasal 2 Ayat 2 KUH Perdata apabila ia dilahirkan mati maka
ia dianggap tidak pernah ada. Jadi Negara RI sebagai Negara hukum
mengakui setiap orang sebagai subjek hukum oleh undang-undang.
Dalam
Pasal 27 UUD 1945 menetapkan bahwa segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum, dalam pemerintahan, dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Seperti dalam
hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan hukum adalah
sebagai berikut :- Cakap
melakukan perbuatan hukum adalah orang dewasa menurut hukum (telah
berusia 21 tahun) dan berakal sehat.
- Tidak cakap
melakukan perbuatan hukum.
- Orang-orang
yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun);
- Orang yang
terkena gangguan jiwa, pemabuk atau pemboros;
- Orang
wanita yang dalam perkawinan atau yang berstatus sebagai istri
(telah dicabut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menetapkan hak dan
kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan-pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat dan tiap-tiap pihak berhak melakukan perbuatan hukum).
2.2
Badan Hukum (Rechts Person)
Badan
hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melakukan sebagai
pembawa hak manusia, seperti dapat melakukan
persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas
dari kekayaan anggota-anggotanya.
Misalnya, suatu
perkumpulan diminta pengesahan sebagai badan hukum dengan cara :- Didirikan
dengan akta notaris;
- Didaftarkan
di kantor panitera pengadilan negeri setempat;
- Dimintakan
pengesahan anggaran dasar (AD) kepada Menteri Kehakiman dan HAM,
sedangkan khusus untuk badan hukum dana pension, pengesahan
anggaran dasarnya dilakukan oleh Menteri Keuangan;
- Diumumkan
dalam Berita Negara RI.
- Badan Hukum
Publik (Publiek Rechts Person)
- Badan Hukum
Privat (Privat Rechts Person)
Badan
hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil. Badan hukum ini
merupakan badan swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu,
yakni mencari keuntungan, social, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
lainnya menurut hukum yang berlaku secara sah, misalnya perseroan
terbatas, koperasi, yayasan, dan badan amal.
2.3
Objek Hukum
Objek
hukum menurut Pasal 499 KUH Perdata, yakni benda. Benda adalah
segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum atau segala sesuatu
yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek
hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi objek dari hak milik
(eigendom).
Berdasarkan
Pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dibagi menjadi dua,
yaitu :- Benda yang
bersifat kebendaan (materiekegoederen)
- Benda
bertubuh/berwujud, meliputi;
1)
Benda bergerak/tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan
benda yang tidak dapat dihabiskan;
2)
Benda tidak bergerak;- Benda tidak
bertubuh/tidak berwujud, seperti surat berharga.
- Benda yang
bersifat tidak kebendaan (immateriekegoederen)
Suatu
benda yang hanya dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat
dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan,
contohnya merek perusahaan, paten, ciptaan music atau lagu.
Dalam KUH
Perdata benda dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :- Barang yang
wujud (lichamelijk) dan barang yang tidak berwujud (lichamelijk);
- Barang yang
bergerak dan barang yang tidak bergerak;
- Barang yang
dapat dipakai habis (vebruikbaar) dan barang-barang yang dipakai
tidak habis (onvebruikbaar);
- Barang-barang
yang sudah ada (tegenvoordigezaken) dan barang-barang yang masih
akan ada (toekomstigezaken);
- Barang-barang
uang dalam perdagangan (zaken in de handle) dan barang-barang yang
di luar perdagangan (zaken buite de handle);
- Barang-barang
yang dapat dibagi dan barang-barang yang tidak dapat dibagi.
2.3.1
Benda Bergerak
Benda bergerak
dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :- Benda
bergerak karena sifatnya, menurut Pasal 509 KUH Perdata adalah
benda yang dapat dipindahkan, missal meja, kursi, dan yang dapat
berpindah sendiri contohnya ternak.
- Benda
bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut Pasal 511 KUH
Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, missal hak memungut
hasil atas benda bergerak, hak pakai atas benda bergerak, dan saham
perseroan terbatas.
2.3.2
Benda Tidak Bergerak
Benda tidak
bergerak dapat dibedakan menjadi seperti berikut :- Benda tidak
bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang
melekat di atasnya, missal pohon, tumbuh-tumbuhan, arca, dan
patung.
- Benda tidak
bergerak karena tujuannya, yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam
pabrik.
- Benda tidak
bergerak karena ketentuan undang-undang ini berwujud hak-hak atas
benda-benda yang tidak bergerak, missal hipotik.
- Pemilikan
(bezit)
- Penyerahan
(levering)
- Daluarsa
(verjaring)
- Pembebanan
(bezwaring)
Pembebanan
(bezwaring) untuk benda bergerak dilakukan dengan pand (gadai,
fidusia), sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik adalah
hak tanggungan untuk tanah.
2.4
Hukum Benda (Zakenrecht)
Hukum
benda merupakan bagian dari hukum kekayaan (vermogensrecht), yakni
peraturan-peraturan yang mengatur hak dan kewajiban manusia yang
bernilai uang. Hak kebendaan merupakan hak mutlak atau lawannya hak
nisbi.
2.4.1
Hak Mutlak (Hak Absolut)
Hak
mutlak (hak absolut) terdiri dari :
a)
Hak kepribadian, misalnya hak atas namanya, hidup, kemerdekaan, dan
lain-lain.
b)
Hak yang terletak dalam hukum keluarga, yakni hak yang timbul karena
adanya hubungan antara suami istri dan hubungan orang tua dan anak.
c)
Hak mutlak atas suatu benda inilah yang disebut hak kebendaan.
2.4.2
Hak Nisbi (Hak Relatif)
Hak
nisbi (hak relatif) atau persoonlijk adalah semua hak yang timbul
karena adanya hubungan utang-piutang, dan utang-piutang timbul dari
perjanjian dan undang-undang.
1.Penggolongan
hak kebendaan
Penggolongan
hak kebendaan dalam KUH Perdata dibedakan menjadi 2 kelompok :
a)
Hak kebendaan yang sifatnya memberikan kenikmatan atas suatu
benda miliknya sendiri, contohnya hak milik atas benda bergerak,
dan hak yang memberikan kenikmatan atas benda milik orang lain,
misalnya hak memungut hasil atas benda bergerak dan hak pakai atas
benda bergerak.
b)
Hak kebendaan yang sifatnya memberikan jaminan atas pelunasan utang,
contohnya
gadai (pand) yang merupakan jaminan utang atas benda bergerak dan
hipotik sebagai jaminan atas benda tidak bergerak selain tanah.
2.Cara
memperoleh hak milik atas suatu benda
Berdasarkan
Pasal 584 KUH Perdata cara memperoleh hak milik atas suatu benda,
antara lain :- Pelekatan,
- Daluwarsa,
- Pewarisan,
dan
- Penyerahan
(levering).
Untuk
penyerahan (levering) berdasarkan suatu title pemindahan hak berasal
dari seorang yang berhak memindahkan hak milik kepada orang lain
sebagai berikut :
1)
Penyerahan (levering) atas benda bergerak diatur dalam Pasal 612 KUH
Perdata, dilakukan dengan cara penyerahan dari tangan ke tangan.
2)
Penyerahan (levering) atas benda tak bergerak (tanah) dilakukan
dengan pembuatan akta PPAT.
3)
Penyerahan (levering) atas benda tak berwujud diatur dalam Pasal 613
KUH Perdata untuk
a)
Piutang atas tunjuk (aan toonder), dengan penyerahan nyata;
b)
Piutang atas nama (op naam), dengan cessie;
c)
Piutang tidak kepada pengganti (aan order), penyerahan surat
disertai dengan endosemen.
2.5
Hak Kebendaan yang Bersifat sebagai Pelunasan Utang (Hak Jaminan)
Hak
kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang (hak jaminan) adalah
hak jaminan yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan
kepadanya untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan
jaminan, jika debitor melakukan wansprestasi terhadap suatu
perjanjian.
2.6
Macam-Macam Pelunasan Utang
2.6.1
Pelunasan Utang dengan Jaminan Umum
Pada
Pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitor,
baik yang ada maupun yang akan ada, baik bergerak maupun yang tidak
bergerak merupakan jaminan terhadap pelunasan utang yang dibuatnya.
Sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitor
menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditor yang
memberikan utang kepadanya.
Dalam hal ini,
benda yang dapat dijadikan pelunasan jaminan apabila telah memenuhi
syarat sebagai berikut :- Benda
tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang);
- Benda
tersebut dapat dipindahtangankan haknya kepada pihak lain.
2.6.2
Pelunasan Utang dengan Jaminan Khusus
Hak
khusus bagi jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik, hak
tanggungan, dan fidusia.
2.7
Gadai
Dalam
Pasal 1150 KUH Perdata disebutkan bahwa gadai adalah hak yang
diperoleh kreditor atas suatu barang bergerak yang diberikan
kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin
suatu utang.
2.7.1
Sifat-Sifat Gadai
a)
Gadai untuk benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud.
b)
Gadai bersifat accesoir, artinya merupakan tambahan dari perjanjian
pokok.
c)
Adanya sifat kebendaan.
d)
Syarat inbezitztelling, artinya benda gadai harus keluar dari
kekuasaan pemberi gadai, atau benda gadai diserahkan dari pemberi
gadai kepada pemegang gadai.
e)
Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri.
f)
Hak prefernsi (hak untuk didahulukan), sesuai dengan Pasal 1130 dan
Pasal 1150 KUH Perdata.
g)
Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi artinya sebagian hak gadai tidak
akan menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian dari utang.
2.7.2
Objek Gadai
Objek
Gadai adalah semua benda bergerak dan pada dasarnya bisa digadaikan
untuk mendapatkan pembayaran uang, yang berwujud surat-surat piutang
kepada pembawa, atas unjuk, dan atas nama, serta hak paten.
2.7.3
Hak Pemegang Gadai
Hak yang didapat
si pemegang gadai selama gadai berlangsung.- Pemegang
gadai berhak menjual benda yang digadaikan atas kekuasaan sendiri.
Hasil penjualan sebagian untuk melunasi utang debitor dan sisanya
dikembalikan kepada debitor.
- Pemegang
gadai berhak untuk mendapatkan ganti rugi yang berupa biaya-biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan benda gadai.
- Pemegang
gadai mempunyai hak untuk menahan benda gadai sampai ada peluasan
utang dari debitur (jumlah utang dan bunga).
- Pemegang
gadai mempunyai hak preferensi dari kreditur-kreditur yang lain.
- Hak untuk
menjual benda gadai dengan perantara hakim.
- Atas izin
hakim tetap menguasai benda gadai.
2.7.4
Kewajiban-Kewajiban Pemegang Gadai
a.
Pasal 1157 ayat 1 KUH Perdata pemegang gadai bertanggung jawab atas
hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan, jika itu
semua terjadi atas kelalaiannya.
b.
Pasal 1156 ayat 2 KUH Perdata berkewajiban untuk memberitahukan
pemberi gadai jika barang gadai dijual.
c.
Pasal 1159 ayat 1 KUH Perdata bertanggung jawab terhadap hasil
penjualan barang gadai.
d.
Kewajiban untuk mengembalikan benda gadai jika debitor melunasi
utangnya.
e.
Kewajiban untuk memelihara benda gadai.
2.7.5
Hapusnya Gadai
a.
Hapusnya perjanjian pokok (sudah dilunasi).
b.
Karena musahnya benda gadai.
c.
Karena pelaksanaan eksekusi.
d. Karena
pemegang gadai telah melepaskan hak gadai secara sukarela.
e.
Karena pemegang gadai telah kehilangan kekuasaan atas benda gadai.
f.
Karena penyalahgunaan benda gadai.
2.8
Hipotik
Berdasarkan
Pasal 1162 KUH Perdata adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak
bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan
suatu perutangan.
2.8.1
Sifat-Sifat Hipotik
a.
Bersifat accesoir, yakni seperti halnya gadai.
b. Mempunyai
sifat zaaksgevolg (droit de suite), yaitu hak hipotik senantiasa
mengikuti bendanya dalam tagihan tangan siapapun benda tersebut
berada.
c. Lebih
didahulukan pemenuhannya dari piutang yang lain.
d.
Objeknya benda-benda tetap.
2.8.2.
Objek Hipotik
Dengan
berlakunya UUHT, objek hipotik meliputi sebagai berikut :
a.
Kapal laut, Pasal 314 Ayat 4 KUH Dagang dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1992 tentang Pelayaran.
b.
Kapal terbang dan helicopter berdasarkan Undang-Undang Nomor 15
tahun 1992 tentang Penerbangan.
2.9
Perbedaan Gadai dan Hipotik
a.
Gadai harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang
digadaikan, sedangkan hipotik tidak.
b. Gadai
hapus jika barang yang digadaikan berpindah ke tangan orang lain,
sedangkan hipotik tidak, tetapi tetap mengikuti bendanya walaupun
bendanya dipindahtangankan ke orang lain.
c. Satu
barang tidak pernah dibebani lebih dari satu gadai walaupun tidak
dilarang, tetapi beberapa hipotik yang bersama-sama dibebankan di
atas satu benda merupakan keadaan biasa.
d. Adanya
gadai dapat dibuktikan dengan segala macam pembuktian yang dipakai
untuk membuktikan pejanjian pokok, sedangkan perjanjian hipotik
dibuktikan dengan akta otentik.
2.10
Hak Tanggungan
Berdasarkan
Pasal 1 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), hak tanggungan
merupakan hak jaminan atas tanah yang dibebankan berikut benda-benda
lain yang bersangkutan.
UUHT
memberikan kedudukan kreditor tertentu yang kuat dengan ciri-ciri
berikut :
a.
Kreditor
yang diutamakan terhadap kreditor lainnya.
b.
Hak
tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun berada
atau selama perjanjian pokok belum dilunasi.
c.
Memenuhi
syarat spesialitas dan publisitas, sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
d.
Mudah
dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Benda
yang akan dijadikan jaminan hutang, harus memenuhi syarat-syarat
berikut
a.
Benda
tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
b.
Benda
tersebut dapat dipindahtangankan haknya kepada pihak lain.
c.
Tanah
yang akan dijadikan jaminan ditunjuk oleh undang-undang.
d.
Tanah
tersebut sudah terdaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29
tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
2.10.1
Objek Hak Tanggungan
Dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang menjadi objek hak
tanggungan, yakni :
a)
Hak milik (HM)
b)
hak guna bangunan (HGB)
c)
Hak guna usaha (HGU)
d)
Rumah susun berikut tanah hak bersama serta hak milik atas satuan
rumah susun (HMSRS)
e)
Hak pakai atas tanah Negara
Setiap
pemberian hak tanggungan harus dilakukan pembebanan yang meliputi
tahap pemberian dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan
tahap pendaftaran hak tanggungan di kantor badan pertahanan.
Kemudian, proses pemberian hak tanggungan dilakukan dihadapan PPAT
untuk dibuatkan akta pemberian hak tanggungan yang disaksikan oleh
debitor, kreditor, dan 2 orang saksi menurut hukum (dewasa dan
berakal sehat), serta PPAT.
Menurut
Pasal 13 ayat 1 UUHT pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada
kantor Badan Pertahanan Nasional (BPN) setempat.
Fungsi dari
pendaftaran :- Sebagai
syarat konstitutif lahirnya hak tanggungan
- Sebagai
pembuktian telah terjadi hak tanggungan
- Sebagai
alat bukti bagi para pihak debitor, kreditor, maupun pihak ketiga.
Dalam
Pasal 16 UUHT disebutkan jika piutang yang dijamin dengan hak
tanggungan beralih hukum karena cessie, subrogasi, atau sebab lain
maka hak tanggungan tersebut ikut beralih kepada kreditor baru.
Berdasarkan
Pasal 21 UUHT apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit maka
pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang
diperolehnya.
Dan
berdasarkan Pasal 55 UU Nomor 34 Tahun 2004 setiap kreditor yang
memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan
lain dapat mengeksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Berdasarkan
Pasal 20 UUHT hak yang diberikan oleh kreditor :
a)
Pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak tanggungan
sebagaimana dimaksudkan Pasal 6.
b)
Berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak
tanggungan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 Ayat 2.
c)
Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan
objek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan untuk
memperoleh harga yang tertinggi yang akan menguntungkan semua pihak.
2.11
Fidusia
Fidusia
merupakan suatu perjanjian accesor antara debitor dan kreditor yang
isinya penyerahan hak milik secara kepercayaan atas benda bergerak
milik debitor kepada kreditur. Hubungan hukum antara pemberi fidusia
(debitor) dengan penerima fidusia (kreditor) merupakan hukum yang
berdasarkan kepercayaan.
Lembaga
jaminan fidusia telah diakui berdasarkan yurisprudensi Keputusan
Hooggerechtsh tanggal 18 Agustus 1932 serta keputusan Mahkamah Agung
tanggal 1 September 1971 Reg No. 372 K/Sip/1970.
Menurut
Pasal 1 angka 1 UU No 42 tahun 1999, fidusia merupakan pengalihan
hak kepemilikan sesuatu atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa hak kepemilikannya dialihkan dan penguasaan tetap ada pada
pemilik benda.
Menurut
pasal 1 angka 2 UUJF, jaminan fidusia merupakan hak jaminan atas
benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan
benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani
hak tanggungan.
Berdasarkan
pasal 4 UUJF, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan
(accessoir) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban
bagi para pihak di dalam memenuhi suatu prestasi untuk memberikan
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.
2.11.1
Objek Jaminan Fidusia
Menurut
pasal 1 angka 4 UUJF yakni benda.
Dalam
pasal 3 benda tidak bergerak harus memenuhi persyaratan :
a)
Benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan
b)
Benda tersebut tidak dibebani dengan hak hipotik, untuk benda
bergerak tidak dibebani dengan hak gadai.
2.11.2
Perjanjian Fidusia
Perjanjian
yang harus dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan
merupakan akta jaminan fidusia.
2.11.3
Pendaftaran Fidusia
Berdasarkan
pasal 14 ayat 3 UUJF pendaftaran fidusia adalah jaminan fidusia yang
lahir pada tanggal dicatat dalam buku daftar fidusia dan merupakan
bukti kreditor sebagai pemegang jaminan fidusia yang diberikan
sertifikat jaminan fidusia. Untuk benda bergerak berlaku ketentuan
pasal 1977 KUH Perdata yang mengatur, “barang siapa menguasai
benda bergerak dianggap sebagai pemiliknya”.
Tujuan
pendaftaran fidusia :
a)
Untuk melahirkan jaminan fidusia bagi penerima fidusia dan menjamin
pihak yang mempunyai kepentingan atas benda yang dijaminkan.
b)
Untuk memberikan perlindungan hukum kepada penerima dan pemberi
fidusia serta pihak ketiga yang berkepentingan.
c)
Memberikan hak yang didahulukan (kreditur preferent).
d)
Memenuhi asas spesialitas dan publisitas.
e)
Memberi rasa aman kepada kreditur penerima jaminan fidusia dan pihak
ketiga yang berkepentingan.
2.11.4
Eksekusi Jaminan Fidusia
Berdasarkan
pasal 15 ayat 2 UUJF, jika debitor wansprestasi kreditor mempunyai
hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan atas kekuasaan
sendiri.
Berdasarkan
pasal 39 UUJF, jika debitor cidera janji eksekusi terhadap benda
yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara
berikut.
a)
Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15
ayat 2 oleh kreditor.
b)
Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan
debitor sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan.
c)
Penjualan di bawah tangan dilakukan berdasarkan kesepakatan debitor
dan kreditor.
2.11.5
Larangan bagi Pemegang Fidusia
Berdasarkan
pasal 23 ayat 2 UUJF, yakni pemegang hak fidusia dilarang untuk
mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain.
2.11.6
Hapusnya Jaminan Fidusia
Berdasarkan
pasal 25 UUJF, jaminan fidusia dihapus karena :- Hapusnya
utang yang dijamin dengan fidusia,
- Pelepasan
ha katas jaminan fidusia oleh debitor, dan
- Musnahnya
benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
2.11.7
Jaminan Perseorangan (Borgtocht)
Berdasarkan
pasal 1820 KUH Perdata, yakni suatu perjanjian dimana pihak ketiga
menanggung pelunasan terhadap utang debitor apabila debitor tidak
dapat melunasi utangnya. Namun, berdasarkan pasal 1821 KUH Perdata
menyatakan bahwa tiada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan
pokok yang sah.
Hak-hak
istimewa bagi pemegang borgtocht :
a)
Hak uit winning, yakni hak dari borg untuk meminta supaya harta
kekayaan debitor terlebih dahulu disita (pasal 1831 KUH Perdata).
b)
Hak splitising, yakni hak dari borg dalam terdapat lebih dari
seorang borg untuk meminta agar terlebih dahulu diadakan pemecahan
utang (pasal 1836 KUH Perdata).
Sumber
:
http://lintangasmara.wordpress.com/2011/05/15/bab-2-subjek-dan-objek-hukum/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar